Jakarta, KABARNYATA.COM – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Saadiah Uluputty, menyoroti kebijakan legitimasi impor pangan yang tertuang dalam UU no 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah menjadi salah satu sumber kekisruhan persoalan pangan dalam negeri terutama pada regulasi ketersediaan pangan. Hal ini tentu akan menuai polemik di masyarakat, karena Indonesia kaya akan sumber daya alam.
Dampak yang mulai terlihat akibat disahkannya UU Cipta kerja berkaitan persoalan impor pangan, Saadiah menjelaskan, Ekses dari UU tersebut sudah terlihat jelas antara lain, dimulai dari rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras pada tahun 2021, impor 3 juta ton garam, impor 500.000 ekor sapi/kerbau, impor jahe bahkan impor ikan setiap tahun mengalami peningkatan.
Menurut Saadiah, Presiden Jokowi tampak memperoleh data yang keliru terkait impor beras yang menurut beliau, Indonesia tidak pernah impor beras selama 3 tahun terakhir padahal faktanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia rutin mengimpor beras dari berbagai negara tiap tahunnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2019, tercatat melakukan impor dari sejumlah negara yakni Vietnam, Thailand, Tiongkok, India, Pakistan, Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Myanmar, dan negara lainnya.
Total impor beras yakni 1,35 juta ton (2000) senilai US$ 319,13 juta. 644,73 ribu ton (2001) senilai US$ 134,91 juta.1,80 juta ton (2002) senilai US$ 342,52 juta. 1,42 juta ton (2003) senilai US$ 291,42 juta. 236,86 ribu ton (2004) senilai US$ 61,75 juta.189,61 ribu ton (2005) senilai US$ 51,49 juta. 436,10 ribu ton (2006) senilai US$ 132,62 juta. 1,40 juta ton (2007) senilai US$ 467,71 juta. 289,68 ribu ton (2008) senilai US$ 124,14 juta. 250,47 ribu ton (2009) senilai US$ 108,15 juta. 687,58 ribu ton (2010) senilai US$ 360,78 juta. 2,75 juta ton (2011) senilai US$ 1,51 miliar. kemudian 1,81 juta ton (2012) senilai US$ 945,62 juta. 472,66 ribu ton (2013) senilai US$ 246,00 juta. 844,16 ribu ton (2014) US$ 388,17 juta. 861,60 ribu ton (2015) senilai US$ 351,60 juta. 1,28 juta ton (2016) senilai US$ 531,84 juta. 305,27 ribu ton (2017) senilai US$ 143,64 juta. 2,25 juta ton (2018) senilai US$ 1,03 miliar dan 444,50 ribu ton (2019) senilai US$ 184,2 juta.
Dari data tersebut, Saadiah menyayangkan, koordinasi antar kementrian dan lembaga masih terlihat amburadul, seperti ada yang salah dari perencanaan pemerintah terkait pangan, dimana perencanaan pemerintah seakan berdiri pada salah satu sudut dan realitasnya berada di sudut yang lain.
“Yang paling ironi, sisa impor tahun 2018 yang saat ini masih tersisa di gudang bulog dan ini berpotensi menjadi barang yang kadaluarsa untuk di konsumsi manusia,”katanya saat dikonfirmasi pada Rabu, (31/03/2021).
Ia menilai, perlu dilakukan evaluasi besar-besaran persoalan tata kelola pangan mulai dari produksi, distribusi hingga tata niaganya, agar tidak terlalu berlarut yang akhirnya akan menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Selain itu, Politisi PKS ini secara terbuka mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan ketahan pangan nasional melalui program Food Estate.
“Saya mengajak seluruh pihak termasuk pemerintah dan jajarannya agar melihat persoalan pangan ini secara luas. salah satu titik paling krusial adalah kebijakan pemerintah mulai dari regulasi hingga pelaksanaan di lapangan,” ungkapnya. **KN07**