KABARNYATA.COM – Anggota DPR RI komisi IV Fraksi PKS, Saadiah Uluputty, menyoroti kebijakan maritim terkait impor produk perikanan dan kelautan, yang seharusnya menjadi tamparan keras kepada pemerintah, agar fokus pada program yang sudah direncananakan dan segera ditindak lanjuti demi kesejahteraan rakyat. Senin, (05/04/2021).
Pasalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, sektor perikanan memiliki potensi sangat besar 1,3 kali dari PDB alias 130 persen, sehingga jika ditotalkan potensi ekonomi Indonesia berdasarkan luas wilayah lautnya, maka akan mencapai US$ 1,3 triliun per tahun atau 5 kali lipat dari APBN 2019, senilai US$ 190 miliar. hal itu dapat menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen perikanan terbesar di dunia. meski demikian, Indonesia masih terus aktif melakukan impor produk perikanan dan kelautan.
“Hal yang perlu dipertanyakan yaitu mengapa harus mengimpor sesuatu yang bisa dihasilkan sendiri oleh negara kita, jika industri yang menjadi alasannya, pemerintah seharusnya memperkuat sarana dan pra sarana khususnya logistik perikanan, agar ikan-ikan dari Ambon, Papua, NTT dll dapat memperoleh akses pasar ke industri,”ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor produk ikan berjenis Krustasea, Moluska, dan kebutuhannya (HS 03) bernilai US$ 303,91 juta, yang paling banyak di impor dalam bentuk segar, kemudian dibekukan (HS 034). Selama periode Januari-November 2019, impor komoditas ini bernilai US$ 180,93 juta atau 59,53% dari total impor perikanan. Impor komoditas ini, terbanyak berasal dari Norwegia. Dalam 11 bulan pertama tahun 2019, impor HS 034 dari negara Skandinavia tersebut tercatat mencapai US$ 34,24 juta atau 17,93% dari total impor HS 034, kemudian Naik 6,19%. dibandingkan periode yang sama, pada tahun sebelumnya. Sepanjang 2009-2018, nilai impor produk perikanan melonjak 195,76% secara point-to-point dengan rata-rata pertumbuhan pertahunnya adalah 13,08%.
Impor produk perikanan, selain untuk bahan baku yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 58/2018 tentang Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan, Impor dibatasi hanya boleh untuk pemindangan, umpan, konsumsi hotel, restoran, catering, pasar modern, bahan pengayaan makanan, dan bahan produk olahan berbasis daging lumatan.
Selanjutnya selain ikan, pemerintah juga merencanakan pengimporan bahan garam sebesar 3,07 juta ton pada tahun 2021, yang merupakan jumlah impor terbesar sejak tahun 2010.
Sebelumnya pada periode 2014-2017 lalu, Mentri Susi pada saat itu dianggap menghambat impor komoditas pergaraman, sehingga disinyalir menjadi penyebab industri-industri nasional, yang menggunakan garam untuk produksinya menjadi terhambat. untuk itu, pada tahun 2018 Presiden Jokowi memutuskan bahwa kebijakan impor garam dikembalikan ke Kementerian Perindustrian, dan tidak lagi membutuhkan rekomendasi kuota dari menteri KKP, yang menurut Uluputty, hal ini sangat kontradiktif, pasalnya KKP setiap tahun mengeluarkan anggaran lebih dari 100 M terkait pergaraman.
Sehingga melalui kesempatan ini, Uluputty berharap perlu mendapatkan informasi yang jelas terkait sejauh mana program tersebut meningkatkan kualitas garam petani, dan mendorong industri untuk menggunakan garam petani.
“Dari beberapa informasi yang kami peroleh untuk meningkatkan kualitas garam rakyat tersebut, sebenarnya KKP sudah banyak memberikan input teknologi seperti Penerapan Teknologi Adaptif Lokasi (PTAL), yang disinyalir dapat meningkatkan kualitas garam rakyat, Bahkan KKP mengklaim peningkatan harga yang dapat menyentuh 4900/kilogram (biasanya garam rakyat hanya dihargai 300-500/kilo). Tetapi sejauh mana aplikasi teknologi tersebut? karena dengan rencana impor 3 juta ton garam menunjukan ada, yang salah dari kebijakannya bukan dari teknologi yang kita miliki,”ungkapnya.**KN07**