Next Post
google.com, pub-8049382961033595, DIRECT, f08c47fec0942fa0

ANTARA POLITIK DINASTI DAN POLITIK DEMOKRASI

Bahtiar
Opini, Kabarnyata.com– Secara historis, lahirnya sistem politik demokrasi merupakan anti tesis dari sistem politik dinasti pada sebuah negara yang berbentuk kerajaan atau kekaisaran yang dipimpin secara turun temurun.
 
Sebagai salah satu contoh, adanya ketidak puasan rakyat terhadap sistem pemerintahah monarki (kerajaan) di Prancis yang sudah berlangsung hampir 300 tahun, telah melahirkan gelombang perlawanan rakyat yang pada akhirnya memicu terjadinya revolusi Prancis pada abad ke 18.
 
Rakyat menginginkan kesamaan dan kesetaraan di dalam pemerintahan, sehingga muncullah sebuah bentuk negara demokrasi modern. Demokrasi pada hakikatnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang relatif setara. Siapapun bisa menjadi pemimpin dalam sebuah negara demokrasi, asalkan memiliki elektoral yang tinggi dan dipilih oleh mayoritas rakyat.
 
Sedangkan Politik dinasti yang diartikan sebagai sebuah kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga atau kekerabatan, tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada orang diluar unsur keluarga kerajaan untuk memimpin negara. Dalam sistem kerajaan, rakyat tidak memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin.
 
Berakhirnya perang dunia kedua, telah melahirkan banyak negara demokrasi di dunia. Artinya hampir seluruh negara di dunia telah meninggalkan sistem monarki (kerajaan). Walaupun masih ada sedikit negara di dunia yang berbentuk monarki, namun sifatnya bukan monarki absolut, melainkan monarki konstitusional.
 
Yang menjadi PERTANYAAN buat kita adalah, apa yang terjadi seandainya negara atau daerah menggunakan Politik Dinasti ?
 
MENURUT Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
 
“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural
 
Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. (AG Paulus, Purwokerto)
 
Hal-Hal Yang Mengakibatkan Munculnya Dinasti Politik Adalah:
Adanya keinginan Dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.
Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
Adanya kolaborasi antara penguasa dan Pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi.
Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan Modal Sehingga Mengakibatkan terjadinya KORUPSI.
 
Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.
 
Menurut Zulkieflimansyah Dampak Negatif Apabila Politik Dinasti Diteruskan :
Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan.
 
Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
 
Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
 
Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
 
Dengan Politik Dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.
 
Maka Dari itu Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di Negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.***
Salam Persahabatan.
 
Bachtiar La Galeb
Penulis adalah politisi asal kabupaten Buru Selatan, mantan anggota DPRD kabupaten Bursel satu periode, mantan DPRD provinsi Maluku satu periode.
Bagikan :

Kabar Nyata

Related posts

Newsletter

SAID PERINTAH MASOHI

Recent News