Next Post

LARANGAN ULTRA VIRES BAGI PEJABAT GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA

1196D12F-DBF5-4671-A9E2-32705256F011

Oleh: Jakobus Anakletus Rahajaan.SH.MH. (Dosen Fakultas Hukum Unidjar – Masohi)

KABARNYATA.COM—Dalam hukum administrasi publik, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian awal, karena obyek administrasi publik adalah wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid).

Menurut konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi (het begrip bevoegdheid is dan ook een begripen in het staats en administratief recht). wewenang (bevoegdheid) didesripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Dengan demikian dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.

Sesuai konsep hukum publik maka wewenang terdiri atas sekurang- kurangnya tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh artinya penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.

Komponen dasar hukum berarti bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis tertentu).

Menurut hukum administrasi apabila suatu tindakan atau keputusan dilakukan dengan landasan hukum yang tepat, maka tindakan tersebut merupakan tindakan intra vires (di dalam batas wewenang). Namun, jika tindakan tersebut dilakukan tanpa adanya landasan hukum, maka tindakan itu adalah tindakan ultra vires (di luar batas wewenang).

Tindakan intra vires dianggap sah, sementara tindakan ultra vires dinyatakan tidak sah. Ultra vires dalam arti sempit berlaku jika badan administrasi tidak memiliki kekuasaan/wewenang substantif untuk membuat keputusan atau dibuat dengan cara cacat prosedural.

Ultra vires dalam arti luas berlaku jika ada penggunaan kekuasaan/wewenang yang tidak masuk akal atau itikad buruk, kegagalan untuk menjalankan kebijaksanaan administrasi atau penerapan kekuasaan diskresioner secara irasional dan cara yang salah.

Selanjutnya ultra vires dapat dispesifikasi menjadi abuse of power (penyalahgunaan wewenang), yang melingkupi: (1) bad faith (itikad buruk); (2) improper purpose (tujuan yang tidak baik/tidak layak); (3) irrelevant considerations (pertimbangan yang tidak relevan); (4) manifest unreasonableness (nyata – nyata tidak masuk akal); (5) lack of proportionality (kurangnya proporsionalitas); (6) uncertainty (ketidakpastian); dan (7) no evidence (tidak ada bukti)

.Berlandaskan pada ketentuan ius Constitutum dalam PERMENDAGRI RI Nomor 4 Tahun 2023, Tentang Pj. Gubernur, Pj.Bupati dan Pj.Walikota, dimana para pejabat dimaksud ini diberikan tugas dan wewenang yang diatur dalam BAB III Pasal 16 ayat 1, 2 , 3 dan 4 PERMENDAGRI RI Nomor 4 Tahun 2023.

Adapun Selain tugas dan wewenang , terdapat juga larangan bagi Pj tersebut Seperti diatur dalam Pasal 15 ayat (2) PERMENDAGRI diatas yang selengkapnya berbunyi demikian:

BAB III
TUGAS, WEWENANG, KEWAJIBAN, LARANGAN, SERTA HAK KEUANGAN DAN HAK PROTOKOLER
Pasal 15
(1) Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota memiliki tugas,kewenangan, kewajiban, dan larangan yang sama dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan larangan Gubernur, Bupati, dan Wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah.
(2) Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
a. melakukan mutasi ASN;
b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan
dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(4) Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota memiliki hak keuangan dan hak protokoler yang setara dengan kepala daerah definitif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan PERMENDAGRI diatas dalam Pasal 15 ayat (2) maka terdapat beberapa larangan bagi Pj. Gubernur, Bupati dan Walikota untuk mengeluarkan regulasi atau mengambil kebijakan atau melakukan diskresi tanpa Persetujuan MENDAGRI RI.

Dengan demikian misalnya ada Pj.Bupati yang melakukan pergantian Pejabat kepala Negeri /Desa, ditengah masa tugas kepala negeri tersebut ( Defenitif dan belum purna bakti ) serta kepala desa tersebut sama sekali tidak terkait dugaan atau sangkaan tindakan pidana apapun, maka patutlah dipersoalkan kebijakan pejabat bupati tersebut.

Yang dapat dipertanyakah oleh masyarakat yang merasa dirugikan adalah: Apakah Pejabat Bupati telah mengantongi Persetujuan atau izin dari MENDAGRI untuk melakukan pergantian kepala negeri Defenitif ditengah masa tugasnya sebagaimana dimaksud yang dimaksud diatas?.Apabila Pejabat Bupati tanpa Surat Persetujuan atau izin dari MENDAGRI melakukan pergantian kepala Pemerintah negeri Defenitif ditengah masa tugasnya maka tindakan badan pemerintah bersifat intra ultra vires atau excès de pouvoir yakni yang melampaui batas wewenang yang diberikan oleh hukum.

Secara spesifik dapat disebut sebagai tindakan abuse of power (penyalahgunaan wewenang), yang melingkupi: (1) bad faith (itikad buruk); (2) improper purpose (tujuan yang tidak baik/tidak layak); (3) irrelevant considerations (pertimbangan yang tidak relevan); (4) manifest unreasonableness (nyata – nyata tidak masuk akal). Dapat disimpulkan bahwa Pejabat Bupati telah melanggar ketentuan tentang larangan sebagaimana diatur dalam PERMENDAGRI diatas.
Terhadap tindakan intra ultra vires atau excès de pouvoir atau abuse of power terdapat sanksi administrasi dari MENDAGRI bagi Pj.Kepala daerah ; Gubernur, Bupati, Walikota yang secara yuridis normatif telah melanggar ketentuan pasal 15 PERMENDAGRI Nomor 4 Tahun 2023. Ketentuan sanksi terhadap tindakan melampaui kewenangan tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

BAB IV SANKSI ADMINISTRASI Pasal 16
Dalam hal Pj Gubernur, Pj Bupati, dan Pj Wali Kota melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 15, Menteri memberikan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menghadapi tindakan abuse of power seorang pejabat bupati seperti dideskripsikan diatas, maka masyarakat yang merasa dirugikan dapat meminta bantuan hukum dari Lembaga atau pos bantuan hukum maupun advokat / lawyer untuk mensomasi pejabat bupati.
Upaya lain, masyarakat dapat mengajukan aspirasi ke DRRD dan meminta DPRD sebagai Wakil Rakyat dalam fungsi Pengawasannya untuk menjembatani penyelesaian persoalan masyarakat tersebut sesuai ketentuan hukum yaitu PERMENDAGRI Nomor 4 Tahun 2023.

Upaya administratif termudah adalah dengan menyampaikan keberatan ataupun tuntutan kepada MENDAGRI untuk meninjau kebijakan/diskresi dari pejabat Bupati yang diduga tindakan ultra vires atau abuse of power.
Demikian sedikit analisis yuridis normatif sebagai pengetahuan hukum semoga bermanfaat sebagai edukasi hukum bagi masyarakat.( KN-AS)

Bagikan :

Kabar Nyata

Related posts

Newsletter

SAID PERINTAH MASOHI

Recent News