“Yang kita omongkan saat ini adalah menjawab makna ketakutan apa yang coba mereka injeksikan kepada publik, juga mencoba menjawab sekenanya tentang alasan memilih Rumah Ibadah Nasrani ketimbang gudang Senjata TNI, cukup itu dulu,”
(Arman Kalean)
Opini, Kabarnyata.com– Coba dilihat lagi pola semacam gaya Anarki pada Pengeboman Katedral Makassar, insureksi dilakukan untuk melumpuhkan suatu kawasan, disertai Sabotase pada jaringan listrik, listrik, dan internet. Sementara itu, Propaganda kepada rakyat dilakukan melalui selebaran-selebaran atau pengambilalihan Media yang gampang diakses Rakyat Kecil semisal TVRI atau RRI.
Memang terencana, segala akurasi diperhatikan sedetil mungkin. Tidak sporadis, acak, atau dalam bentuk individu.
Yang di atas itu biasa dalam strategi perang perkotaan, sebut saja gerilya kota. Bisa dilakukan oleh gerakan berbasis ideologi tertentu, baik Nasionalis atau Marxisme, atau yang berafiliasi keduanya tetapi bermotifkan Suku, misalnya Karen, Pesmerga, atau EZLN.
Lain hal bermotifkan Agama, Lone Wolf paling banter hanya individu kecewa dan mencari pelarian mandiri tanpa bimbingan. Bagaimana dengan Pemboman Katedral Makassar, kita belum menarik ke atas, jadi belum layak bicara konspirasi lalu mengaitkan al-Qaeda dan AS.
Yang kita omongkan saat ini adalah menjawab makna ketakutan apa yang coba mereka injeksikan kepada publik, juga mencoba menjawab sekenanya tentang alasan memilih Rumah Ibadah Nasrani ketimbang gudang Senjata TNI, cukup itu dulu.
Pertama, dimulai dari memahami doktrin terhadap terminologi Kafir dari kelompok ini, artinya kita juga sementara dicap Kafir, hanya Kafir yang bisa berpeluang diajak untuk menyetujui sistem mereka saat mereka berhasil menguasai suatu kawasan.
Ketakutan yang mereka sebar bukan untuk Rakyat Kecil dengan jumlah pemeluk Agama mayoritas, tetapi justeru untuk pihak kemanan dan Rakyat Kecil dengan jumlah pemeluk minoritas yang menurut kriteria Kafir di atas, sangat sulit dipengaruhi kelak andai sistem telah terbentuk.
Jadi, lebih tepat pesan jangan takut itu kepada minoritas dan pihak keamanan, sementara kepada pemeluk Agama mayoritas lebih tepat pesannya adalah bersinergi dengan pihak keamanan dan merawat toleransi antar sesama.
Propaganda mereka itu bukan untuk mayoritas, tetapi untuk minoritas dan yang dianggap penjamin minoritas (bisa Polisi atau Ormas), bahwa kami sudah nekat-nekatan, kalaupun kalian tidak takut, kalian hanya sebatas berani.
Di satu sisi, tindakan heroik semisal aksi di Marina Jakarta mulai jarang diperlihatkan di media. Lebih banyak belakangan ini soal penumpasan Kelompok Kombatan Bersenjata (KKB), padahal untuk membalas kenekatan, harus dengan kenekatan pula.
Operasi menggunakan Drone perlu dilakukan, melibatkan Jurnalis yang berani mengambil gambar di zona merah, bila perlu live reeport. Selama ini, pemberantasan Preman saja yang diliput media, aksi satuan Jaguar. Coba sesekali pasca ini, liputan langsung semua satuan elite Polisi dan TNI yang fokus penanggulangan terorisme itu dilibatkan, pasti seru dan sekaligus memperkenalkan aksi-aksi cepat satuan-satuan semacam Tontaipur, Detasemen Bravo, atau Denjaka dalam penumpasan kelompok teroris.
Kedua, evaluasi ide mengenai pendidikan anti radikalisme di tingkat Sekolah. Berikutnya Permenristekdikti tentang Badan Pembinaan Ideologi di kampus-kampus, itu sudah sejak 2018. Selain percepat regulasi melalui penyamaan statuta mengenai Rumah Moderasi di kampus lingkup Kemenag, harus muncul dalam satu mata kuliah, juga ada tes ketat seperti tes ngaji di Mahad al-Jamiyah selama ini.
Suka tidak suka, Negara perlu campur tangan soal konten ceramah, khutbah, di Rumah-rumah ibadah baik Islam dan Agama lain. Jangan kaku kalau disebut Negara tidak boleh campur urusan Agama, itu justeru pandangan sekuler. Kita ini Pancasila, saat situasi tidak menjamin kebebasan beragama, Negara perlu hadir bukan hanya dengan kerja Polisi dan TNI, melainkan kerja sistem dalam pemerintahan, baik itu Kementerian atau lembaga dibawahnya secara kolektif, jangan parsial hanya muncul BNPT. Ingat, ini negara gotong royong, bersama melawan intoleran dan radikalisme berjubah Agama.
Babinkamtibmas dan Babinsa harus lebih sering berkoordinasi dengan Remaja-remaja Masjid, pemetaan ulang potensi dakwah yang mengarah ke sana. Ingat, sikap intoleran dan radikalis tindakan bisa menimpa Agama apa saja dan kelompok atau individu siapa saja.
Kepada para intelektual, saat ini bukan waktunya berdialektika dengan terminologi Terorisme, Radikalisme, Fanatisme, sebab kita sudah paham mana batasan Filsafatnya dan mana yang sudah direduksi atau diluaskan menjadi keyakinan aliran tertentu dengan kostum Agama.
Mari mencari satu sudut pandang yang pas sebagai pencegahan perilaku terorisme, mulai dari diri kita dan lingkungan sekitar. Sudah waktunya bukan sekedar himbauan bersama, itu namanya tunggu letupan, kagiatan-kegiatan sebatas orientasi momentum. Saatnya orientasi program, bina dari lingkungan pendidikan dan lingkungan Rumah Ibadah di kompleks. Hanya dengan begitu pemutakhiran data bisa diperoleh dari masyarakat langsung tanpa mengharapkan hanya melalui kerja intelijen susut, canangkan gerakan Partisipatoris Lawan Terorisme (Plato).
Ambon, 29 Maret 2021
Kasat Korcab Banser Ambon,
Arman Kalean, M.Pd
(Dosen di IAIN Ambon)
#GotongRoyongLawanIntoleran